Apakah Tuhan Benar-benar Ada?

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam sejarah pemikiran manusia, tak ada pertanyaan yang lebih agung dan lebih kontroversial selain pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Sejak zaman purba hingga era digital, dari hutan belantara hingga ruang kuliah filsafat, pertanyaan ini terus menggema: Apakah Tuhan benar-benar ada? Pertanyaan ini bukan sekadar wacana teologis, tetapi menyentuh inti eksistensi manusia, arah moralitas, dan makna kehidupan.

Pergulatan Sejarah dan Filosofi

Pertanyaan mengenai Tuhan telah mewarnai pergulatan filsafat sejak zaman Socrates, Plato, hingga Immanuel Kant dan Bertrand Russell. Filsuf Thomas Aquinas, misalnya, memperkenalkan quinque viae — lima jalan pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan (Davies, 2004). Salah satunya adalah argumentum cosmologicum, yakni bahwa segala yang bergerak pasti digerakkan oleh sesuatu yang lain, dan akhirnya harus ada “penggerak pertama” yang tidak digerakkan, yaitu Tuhan.

Namun, filsuf ateis seperti David Hume atau Jean-Paul Sartre mempertanyakan keabsahan argumen-argumen tersebut. Sartre bahkan menegaskan bahwa keberadaan Tuhan justru membatasi kebebasan manusia (Sartre, 2007). Di sisi lain, Blaise Pascal mengajukan wager theory: bertaruh bahwa Tuhan ada adalah pilihan paling rasional karena risikonya lebih kecil daripada jika Tuhan ternyata benar-benar ada namun kita memilih untuk tidak percaya (Pascal, 2010).

Ilmu Pengetahuan: Kawan atau Lawan?

Kemajuan ilmu pengetahuan sering kali dianggap bertentangan dengan keberadaan Tuhan. Teori Big Bang, evolusi Darwin, dan neurosains dianggap sebagai “pengganti” narasi-narasi ilahi. Namun, klaim ini terlalu menyederhanakan. Stephen Hawking pernah menulis bahwa alam semesta bisa tercipta dari nothing, dengan hukum-hukum fisika seperti gravitasi (Hawking & Mlodinow, 2010). Tapi pertanyaan filosofis tetap membayang: dari mana hukum gravitasi itu berasal?

Fisikawan Paul Davies menegaskan bahwa keberadaan hukum-hukum alam yang sangat presisi justru memberi kesan bahwa alam semesta ini dirancang (Davies, 2006). Hal senada juga diungkapkan oleh Francis Collins, pemimpin proyek pemetaan genom manusia, yang melihat keindahan dan keteraturan DNA sebagai refleksi dari keberadaan Tuhan (Collins, 2006).

Argumentasi Rasional dan Kognitif

Dari sisi filsafat kontemporer, Alvin Plantinga membangun argumen yang lebih halus melalui reformed epistemology. Ia berpendapat bahwa kepercayaan kepada Tuhan bisa menjadi basic belief, sama halnya dengan kepercayaan pada eksistensi dunia luar (Plantinga, 2000). Kepercayaan semacam itu tidak membutuhkan pembuktian rasional untuk bisa diterima secara epistemik.

Dari sisi psikologi, Justin Barrett menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah sesuatu yang alami karena otak manusia secara kognitif terprogram untuk mempercayai adanya agen-agen adikodrati (Barrett, 2011). Hal ini tidak membuktikan Tuhan, tetapi menunjukkan bahwa keberimanan bukanlah ilusi belaka.

Eksistensialisme dan Kehampaan Makna

Keberadaan Tuhan juga berkaitan erat dengan pertanyaan tentang makna hidup. Jika Tuhan tidak ada, seperti yang diklaim oleh Nietzsche, maka “Tuhan telah mati” dan manusia harus menciptakan nilai-nilai mereka sendiri (Nietzsche, 2005). Namun nihilisme ini menimbulkan krisis makna. Viktor Frankl, seorang psikolog yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menunjukkan bahwa manusia bisa bertahan hidup dalam penderitaan asalkan ia memiliki makna — dan makna terdalam sering kali bersifat transenden (Frankl, 2006).

Perspektif Islam: Tuhan sebagai Realitas Mutlak

Dalam khazanah Islam, keberadaan Tuhan adalah fondasi ontologis yang mutlak. Al-Qur’an sendiri menyodorkan berbagai pendekatan untuk menyadarkan keberadaan Tuhan: refleksi kosmik, moral, dan eksistensial. Surah Al-Thur (52:35-36) menantang logika manusia: “Apakah mereka tercipta tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”

Teolog Muslim seperti Al-Ghazali mengembangkan argumen huduth al-‘alam (kontingensi alam semesta). Menurutnya, segala yang bersifat temporal pasti memiliki permulaan, dan sesuatu yang memiliki permulaan pasti memiliki pencipta (Ghazali, 2000). Ibn Sina bahkan mengembangkan konsep wajib al-wujud — keberadaan yang niscaya, tidak tergantung pada apa pun, yaitu Tuhan (Nasr, 2006).

Kritik Terhadap Klaim Ateis

Beberapa ilmuwan dan filsuf ateis seperti Richard Dawkins dan Daniel Dennett menolak keberadaan Tuhan sebagai hipotesis ilmiah yang gagal menjelaskan realitas. Dalam The God Delusion, Dawkins menyatakan bahwa Tuhan adalah “delusi psikologis” (Dawkins, 2006). Namun, pandangan ini dikritik karena cenderung reduksionis, menyamakan kepercayaan Tuhan dengan fiksi belaka tanpa mempertimbangkan dimensi eksistensial dan spiritual dari keimanan (Ward, 2004).

John Lennox, matematikawan dari Oxford, membalas bahwa ateisme sains justru menyingkirkan fondasi nilai dan makna yang lebih dalam (Lennox, 2009). Tanpa Tuhan, tidak ada alasan objektif untuk kebaikan, keadilan, atau nilai manusia.

Fenomena Spiritualitas dan Pengalaman Keagamaan

Pengalaman spiritual juga menjadi landasan bagi banyak orang dalam meyakini keberadaan Tuhan. William James dalam The Varieties of Religious Experience menjelaskan bahwa pengalaman religius bersifat transformatif dan memberikan efek moral dan psikologis yang dalam (James, 2002). Di era modern, studi neuroteologi mencoba memetakan pengalaman spiritual ke dalam aktivitas otak. Meski demikian, keberadaan pengalaman tidak otomatis menafikan kenyataan objektif dari Tuhan.

Seni, Keindahan, dan Keagungan

Bagi sebagian orang, argumen paling kuat tentang keberadaan Tuhan justru berasal dari seni dan keindahan. Leo Tolstoy, misalnya, melihat dalam seni suatu “cahaya Tuhan” yang tidak dapat dijelaskan oleh logika semata (Tolstoy, 1995). Begitu pula C.S. Lewis yang awalnya ateis, namun akhirnya percaya setelah melihat bahwa kerinduan manusia terhadap keindahan dan kebaikan adalah bukti akan keberadaan realitas yang lebih tinggi (Lewis, 2001).

Tuhan dalam Dunia yang Penuh Penderitaan

Namun satu tantangan terbesar bagi keberadaan Tuhan adalah masalah penderitaan. Jika Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Kuasa, mengapa dunia ini penuh dengan penderitaan? Inilah yang disebut problem of evil. Filsuf John Hick menjawab bahwa penderitaan bukan bukti ketiadaan Tuhan, melainkan bagian dari proses pembentukan moral dan kebebasan manusia (Hick, 2010).

Dalam Islam, penderitaan bukan sekadar hukuman atau kebetulan, melainkan ujian yang bisa membawa manusia pada kedewasaan spiritual, sebagaimana diuraikan dalam Surah Al-Baqarah ayat 155–157.

Mendekati Kesimpulan: Tuhan sebagai Misteri Terbesar

Akhirnya, keberadaan Tuhan memang tidak bisa dibuktikan secara eksak seperti rumus fisika, tetapi juga tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai khayalan. Keberadaan Tuhan berada dalam ruang di antara logika, pengalaman, spiritualitas, dan moralitas.

Kita hidup dalam semesta yang penuh keajaiban — dari keteraturan hukum fisika, kompleksitas biologis, hingga kerinduan batin terhadap makna. Semua ini tidak otomatis membuktikan Tuhan, tetapi memberi petunjuk yang kuat bahwa di balik segala realitas ini ada sesuatu yang lebih besar dari kita.

Pertanyaan tentang Tuhan barangkali tidak pernah benar-benar selesai. Tetapi justru dalam pencarian itulah, manusia menemukan dirinya — dan mungkin, menemukan Tuhan.


Referensi

  • Barrett, J. L. (2011). Why Would Anyone Believe in God? Lanham: AltaMira Press.
  • Collins, F. S. (2006). The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief. New York: Free Press.
  • Davies, B. (2004). An Introduction to the Philosophy of Religion. Oxford: Oxford University Press.
  • Dawkins, R. (2006). The God Delusion. Boston: Houghton Mifflin.
  • Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Boston: Beacon Press.
  • Ghazali, A. (2000). Tahafut al-Falasifah [The Incoherence of the Philosophers]. Beirut: Dar al-Ma’arif.
  • Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The Grand Design. New York: Bantam Books.
  • Hick, J. (2010). Evil and the God of Love. London: Palgrave Macmillan.
  • James, W. (2002). The Varieties of Religious Experience. London: Routledge.
  • Lennox, J. (2009). God’s Undertaker: Has Science Buried God? Oxford: Lion Hudson.
  • Lewis, C. S. (2001). Mere Christianity. New York: HarperOne.
  • Nasr, S. H. (2006). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
  • Nietzsche, F. (2005). The Gay Science. New York: Dover Publications.
  • Pascal, B. (2010). Pensées. London: Penguin Classics.
  • Plantinga, A. (2000). Warranted Christian Belief. Oxford: Oxford University Press.
  • Tolstoy, L. (1995). What Is Art? London: Penguin Books.
  • Ward, K. (2004). Why There Almost Certainly Is a God: Doubting Dawkins. Oxford: Lion Hudson.