Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Amnesti adalah sebuah istilah hukum yang sarat makna politis. Di satu sisi, ia dapat menjadi wujud rekonsiliasi dan pemulihan keadilan; di sisi lain, ia sering menjadi sumber polemik, terlebih jika dijalankan di tengah ketegangan sosial-politik. Di Indonesia, konsep amnesti telah beberapa kali menjadi pilihan negara dalam menyikapi dinamika pelanggaran hukum yang bersifat luar biasa atau berdimensi politis. Namun, dalam perjalanannya, pemberian amnesti juga kerap menimbulkan kontroversi, terutama jika tidak disertai transparansi dan akuntabilitas yang memadai.
Pertanyaan mendasar yang sering muncul: Apakah amnesti hanya sekadar jalan pintas politik atau justru instrumen hukum yang diperlukan untuk mengurai konflik dan membangun keadilan restoratif?
Menyigi Makna Amnesti
Secara yuridis, amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada sekelompok orang atau individu karena tindak pidana tertentu, biasanya berkaitan dengan pelanggaran politik. Dalam konteks ini, amnesti berbeda dengan grasi yang bersifat individual dan pasca-putusan pengadilan (Simandjuntak, 2020). Amnesti seringkali diberikan sebelum atau saat proses hukum sedang berlangsung, dan dapat menghapus segala akibat hukum dari tindak pidana yang dimaksud.
Di banyak negara, pemberian amnesti tidak hanya merupakan hak prerogatif presiden atau kepala negara, tetapi juga membutuhkan pertimbangan atau persetujuan lembaga legislatif, sebagai bentuk kontrol demokratis terhadap kekuasaan eksekutif (Hukumonline, 2023). Model ini dirancang untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan memastikan amnesti tidak digunakan untuk melindungi kepentingan kelompok atau elite tertentu.
Amnesti dalam Bingkai Sejarah dan Konstitusi
Amnesti di Indonesia telah diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem presidensial Indonesia, kewenangan presiden tidaklah absolut, melainkan memerlukan keterlibatan parlemen sebagai perwakilan rakyat (Asshiddiqie, 2022).
Secara historis, Indonesia pernah menggunakan amnesti dalam beberapa momen krusial, seperti pada masa Orde Lama terhadap eks pemberontak PRRI/Permesta (Ismail, 2018), atau pada masa Reformasi dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak dibawa ke meja hijau. Namun demikian, praktik-praktik ini tidak selalu menghadirkan rasa keadilan bagi publik, terlebih bila dikaitkan dengan prinsip non-impunitas terhadap pelanggaran berat hukum dan HAM (Nuraini, 2021).
Politik Amnesti dan Dilema Etis
Pemberian amnesti sering kali mengandung dilema etis. Di satu sisi, ia bisa mencegah perpecahan dan membuka jalan rekonsiliasi nasional. Namun, di sisi lain, ia berpotensi mengabaikan hak korban atas keadilan. Sebuah negara hukum semestinya berpijak pada prinsip bahwa tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum (Latif, 2023).
Organisasi Amnesty International secara tegas menyatakan bahwa amnesti terhadap pelanggar HAM berat, tanpa adanya proses hukum dan kejelasan pertanggungjawaban, adalah bentuk pengingkaran terhadap hak asasi korban (Amnesty, 2022). Dalam konteks ini, amnesti menjadi alat impunitas jika diberikan tanpa basis etik dan yuridis yang memadai.
Studi dari Przeworski (2019) bahkan menunjukkan bahwa amnesti yang tidak diiringi dengan akuntabilitas dapat melemahkan demokrasi dalam jangka panjang, karena menciptakan preseden bahwa pelanggaran dapat dimaafkan demi stabilitas semu.
Amnesti dan Keadilan Restoratif
Terlepas dari kritik-kritik tersebut, amnesti tetap bisa menjadi alat hukum yang relevan jika ditempatkan dalam kerangka keadilan restoratif. Konsep ini menekankan pemulihan relasi sosial dan pengakuan terhadap korban, bukan semata penghukuman terhadap pelaku (Zehr, 2020). Dalam paradigma ini, amnesti tidak meniadakan keadilan, melainkan menjadi bagian dari proses rekonsiliasi dan transformasi sosial.
Misalnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Afrika Selatan menggunakan amnesti sebagai jalan tengah antara keinginan menuntut keadilan dan kebutuhan menyembuhkan luka kolektif masa lalu. Namun, pemberian amnesti dalam KKR disertai pengakuan pelaku atas kejahatannya, permintaan maaf, dan proses pemulihan terhadap korban (Tutu, 1999).
Dalam kerangka ini, amnesti idealnya disandingkan dengan syarat-syarat etik tertentu: pengakuan kesalahan, pertanggungjawaban moral, dan keterbukaan proses hukum. Dengan demikian, amnesti tidak menjadi celah untuk lolos dari keadilan, tetapi sarana mencapai kedamaian yang berbasis pada kebenaran (Hayner, 2011).
Amnesti di Era Digital dan Informasi Terbuka
Di tengah era digital dan keterbukaan informasi saat ini, publik menaruh perhatian besar terhadap setiap kebijakan yang menyangkut keadilan. Pemberian amnesti tak bisa lagi dilakukan secara tertutup, tanpa akuntabilitas dan transparansi (Nugroho, 2023). Opini publik terbentuk cepat melalui media sosial, dan tekanan dari masyarakat sipil terhadap kebijakan publik semakin kuat.
Menurut survei dari LIPI (2024), mayoritas masyarakat Indonesia menginginkan keterbukaan dalam pemberian amnesti, termasuk publikasi alasan, proses pertimbangan, dan pihak yang mendapatkan amnesti. Ini menunjukkan bahwa era baru telah menuntut pola komunikasi dan tata kelola kebijakan yang lebih partisipatif.
Selain itu, digitalisasi arsip hukum memungkinkan publik melacak rekam jejak kebijakan dan memverifikasi kebenaran narasi yang dibangun oleh negara. Oleh karena itu, legitimasi pemberian amnesti sangat bergantung pada kepercayaan publik, yang hanya dapat dibangun melalui transparansi dan kejujuran naratif (Setiawan, 2024).
Menimbang Keadilan dan Kepentingan Umum
Dalam setiap keputusan pemberian amnesti, negara harus melakukan kalkulasi etis, hukum, dan politik secara cermat. Di satu sisi ada kepentingan umum untuk menciptakan stabilitas dan rekonsiliasi; di sisi lain, ada hak individu korban dan masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Tidak ada formula tunggal yang dapat diterapkan dalam semua konteks, karena setiap kasus memiliki dinamika dan kompleksitas tersendiri.
Pendekatan terbaik adalah model deliberatif, yakni melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai sektor: ahli hukum, tokoh masyarakat, perwakilan korban, dan lembaga legislatif. Proses ini tidak hanya menghasilkan keputusan yang lebih legitimate, tetapi juga memperkuat demokratisasi kebijakan hukum (Habermas, 1996).
Sebagaimana ditegaskan oleh Walzer (1983), keadilan bukan hanya soal siapa yang benar atau salah, melainkan bagaimana masyarakat menemukan jalan bersama untuk hidup berdampingan dalam kerangka yang beradab. Dalam hal ini, amnesti bisa menjadi sarana untuk melangkah ke depan, asal tidak digunakan untuk mengubur masa lalu tanpa pertanggungjawaban.
Penutup: Amnesti sebagai Cermin Demokrasi
Amnesti bukan sekadar keputusan hukum, tetapi juga refleksi dari karakter demokrasi suatu negara. Negara yang berani membuka diri terhadap kesalahan masa lalu dan menyelesaikannya secara adil adalah negara yang matang secara politik dan etis. Sebaliknya, negara yang menggunakan amnesti untuk melindungi kepentingan kekuasaan adalah negara yang mengkhianati prinsip-prinsip konstitusional.
Dalam konteks Indonesia, amnesti seharusnya tidak diposisikan sebagai instrumen politis semata, melainkan sebagai perangkat hukum yang digunakan secara hati-hati, deliberatif, dan akuntabel. Harapan akan keadilan yang sejati bukan hanya milik korban, tetapi milik kita semua sebagai warga negara yang percaya bahwa hukum dan moralitas harus berjalan seiring.
Referensi
Amnesty International. (2022). Amnesty and Accountability in Transitional Justice. London: Amnesty Press.
Asshiddiqie, J. (2022). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. Cambridge: MIT Press.
Hayner, P. (2011). Unspeakable Truths: Transitional Justice and the Challenge of Truth Commissions. New York: Routledge.
Hukumonline. (2023). Tata Cara Pemberian Amnesti dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Hukumonline Institute.
Ismail, F. (2018). Rekonsiliasi dan Amnesti dalam Sejarah Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Latif, Y. (2023). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Kompas.
LIPI. (2024). Survei Persepsi Publik tentang Kebijakan Amnesti di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Nugroho, A. (2023). Demokrasi Digital dan Transparansi Kebijakan Publik. Malang: Intrans Publishing.
Nuraini, L. (2021). HAM dan Tantangan Impunitas di Negara Berkembang. Bandung: Refika Aditama.
Przeworski, A. (2019). Crises of Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Setiawan, B. (2024). Keterbukaan Informasi dan Tantangan Legitimasi Hukum di Era Digital. Surabaya: Airlangga University Press.
Simandjuntak, R. (2020). Grasi, Abolisi, dan Amnesti dalam Perspektif Hukum Tata Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Tutu, D. (1999). No Future Without Forgiveness. New York: Image Books.
Walzer, M. (1983). Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and Equality. New York: Basic Books.
Zehr, H. (2020). The Little Book of Restorative Justice. New York: Good Books.