Abolisi

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Abolisi bukan sekadar kata yang menggema dalam ruang-ruang kekuasaan. Ia adalah tindakan hukum luar biasa yang melibatkan intervensi kekuasaan eksekutif terhadap proses peradilan pidana. Dalam konstitusi Indonesia, abolisi diatur sebagai hak prerogatif presiden yang memungkinkan penghentian proses hukum terhadap seseorang yang sedang diperiksa, disidik, atau dituntut atas tindak pidana tertentu.

Namun dalam praktiknya, abolisi menimbulkan dilema moral dan yuridis. Di satu sisi, ia dapat menyelamatkan seseorang dari jeratan hukum yang dipolitisasi; di sisi lain, abolisi juga bisa menjadi alat kompromi yang melemahkan supremasi hukum. Di sinilah letak pentingnya membedah abolisi secara kritis agar tidak menjadi praktik impunitas terselubung.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2020), abolisi, bersama amnesti dan grasi, adalah instrumen kemanusiaan negara. Namun, penggunaannya harus berbasis pertimbangan objektif dan bukan karena tekanan kekuasaan. Di sinilah pentingnya membangun sistem kontrol terhadap kewenangan absolut yang melekat pada presiden.


Abolisi dalam Lintasan Sejarah

Abolisi memiliki akar dalam sistem hukum Eropa kontinental dan banyak diadopsi dalam sistem hukum negara-negara pascakolonial, termasuk Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, abolisi digunakan secara selektif dan jarang dipraktekkan secara terbuka. Misalnya, pada masa awal kemerdekaan, Presiden Soekarno pernah memberikan abolisi terhadap para tokoh yang terlibat dalam konflik politik bersenjata sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi nasional (Lubis, 2018).

Namun, sejak masa reformasi, wacana abolisi menjadi sensitif. Masyarakat sipil kerap mengkritisi potensi intervensi eksekutif yang dapat mengebiri proses hukum. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, mengingat abolisi dapat menjadi jalan pintas untuk membebaskan individu dari proses hukum tanpa melalui mekanisme pembuktian yang transparan (Sulaiman, 2021).


Supremasi Hukum vs Kewenangan Politik

Indonesia menganut prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Artinya, setiap kebijakan negara harus tunduk pada supremasi hukum, bukan pada kehendak kekuasaan. Dalam konteks ini, penggunaan hak abolisi harus dilihat sebagai pengecualian, bukan norma. Ia hanya digunakan ketika proses hukum telah gagal memberikan keadilan substantif.

Bivitri Susanti (2022) menegaskan bahwa negara hukum tidak bisa mengakomodasi praktik abolisi jika tidak diimbangi dengan mekanisme check and balance yang kuat. Hal ini penting untuk menghindari abuse of power dan menjaga integritas lembaga peradilan.

Kekhawatiran utama publik atas abolisi terletak pada potensi digunakannya kewenangan tersebut sebagai alat barter politik atau kepentingan jangka pendek. Misalnya, jika seseorang yang sedang menjalani proses hukum karena kasus korupsi kemudian mendapatkan abolisi atas dasar rekonsiliasi politik, maka publik akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum itu sendiri (Prasetyo, 2020).


Abolisi dan Kepercayaan Publik terhadap Hukum

Dalam survei terbaru yang dilakukan oleh LSI (2024), ditemukan bahwa 62 persen responden tidak menyetujui jika presiden memberikan abolisi kepada individu yang terjerat kasus hukum besar. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya proses hukum yang adil dan terbuka.

Kepercayaan publik terhadap institusi hukum sangat dipengaruhi oleh konsistensi penerapan hukum itu sendiri. Ketika masyarakat melihat ada proses hukum yang dihentikan melalui abolisi tanpa argumentasi yang kuat dan transparan, maka yang terjadi adalah demoralisasi hukum (Hidayat, 2023).

Abolisi yang tidak dijelaskan secara komprehensif kepada publik akan menjadi simbol kesewenang-wenangan negara. Dalam konteks demokrasi, praktik semacam ini akan memperlemah kualitas sistem hukum dan meningkatkan resistensi publik terhadap otoritas negara (Salim, 2022).


Abolisi dalam Perspektif Etika Politik

Etika politik memandang bahwa setiap kebijakan negara harus mengandung prinsip tanggung jawab moral terhadap publik. Dalam kerangka ini, abolisi tidak bisa hanya dilihat sebagai keputusan administratif semata. Ia harus dilandasi oleh nilai keadilan, kebenaran, dan kemaslahatan umum.

Rawls (1999) dalam Theory of Justice menyatakan bahwa keadilan bukan semata-mata hasil prosedural, tetapi juga hasil dari distribusi hak yang adil dalam masyarakat. Jika abolisi hanya digunakan untuk menyelamatkan elit tertentu, maka kebijakan tersebut tidak memiliki dasar moral yang kuat.

Etika politik juga menuntut agar proses pemberian abolisi melibatkan partisipasi publik atau setidaknya diberikan ruang untuk evaluasi dari lembaga independen. Hal ini penting agar abolisi tidak menjadi praktik oligarkis yang merugikan tatanan demokrasi (Yamin, 2021).


Mekanisme Ideal dalam Pemberian Abolisi

Salah satu kelemahan dalam sistem abolisi di Indonesia adalah tidak adanya mekanisme akuntabilitas yang kuat. Presiden dapat memberikan abolisi tanpa kewajiban menjelaskan secara terbuka dasar pertimbangannya. Hal ini bertentangan dengan prinsip good governance yang menuntut transparansi dalam pengambilan keputusan publik (Setiawan, 2019).

Untuk itu, beberapa ahli hukum mengusulkan pembentukan badan independen yang dapat memberikan rekomendasi terhadap usulan abolisi. Badan ini bertugas menilai aspek yuridis dan moral dari setiap permintaan abolisi sebelum dikirim ke presiden (Rahardjo, 2020).

Selain itu, setiap keputusan abolisi sebaiknya diumumkan secara terbuka melalui saluran resmi negara, disertai argumentasi hukum dan sosial yang memadai. Tanpa langkah ini, publik akan terus berspekulasi dan mencurigai motif politik di balik keputusan tersebut (Kusuma, 2023).


Abolisi dalam Konteks Hak Asasi Manusia

Abolisi dapat menjadi alat yang efektif dalam melindungi hak asasi manusia, terutama dalam kasus di mana individu menjadi korban kriminalisasi atau penyalahgunaan hukum. Dalam konteks ini, abolisi bisa menjadi jalan untuk mengoreksi ketidakadilan struktural yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum formal (Komnas HAM, 2024).

Namun, penting digarisbawahi bahwa abolisi bukan substitusi dari proses hukum. Ia hanya relevan jika ada bukti kuat bahwa proses hukum telah mengalami cacat substansial. Jika tidak, abolisi justru akan mencederai prinsip fair trial dan merugikan korban yang menuntut keadilan (Fitriani, 2021).

Hak atas keadilan adalah bagian dari hak sipil yang dilindungi konstitusi. Oleh karena itu, negara harus memastikan bahwa setiap tindakan abolisi tidak merampas hak korban untuk mendapatkan kepastian hukum (Handayani, 2023).


Jalan Tengah: Rekonstruksi Konstitusional terhadap Abolisi

Sudah saatnya Indonesia melakukan rekonstruksi terhadap kebijakan abolisi. Bukan untuk menghapusnya, tetapi untuk menempatkannya dalam rel yang benar: hukum, etika, dan demokrasi. Abolisi perlu didefinisikan ulang dalam undang-undang agar memiliki batasan yang jelas, termasuk jenis tindak pidana yang dapat atau tidak dapat diabolisi (Siregar, 2024).

Reformulasi ini juga harus melibatkan peran DPR sebagai institusi legislatif untuk memberikan persetujuan atas permintaan abolisi tertentu. Dengan demikian, prinsip check and balance tetap terjaga dan kewenangan presiden tidak absolut (Lestari, 2023).

Langkah ini akan membawa Indonesia lebih dekat kepada negara hukum yang demokratis, di mana kekuasaan tidak bersifat mutlak, dan keadilan tidak dikorbankan demi kompromi politik.


Penutup: Keadilan sebagai Tujuan Tertinggi

Abolisi pada dasarnya adalah senjata bermata dua. Ia bisa menjadi penyelamat, namun juga bisa menjadi alat pemusnah keadilan. Oleh karena itu, kewenangan ini harus digunakan dengan penuh tanggung jawab, disertai transparansi, dan pertimbangan moral yang tinggi.

Dalam negara hukum yang sehat, tidak ada kekuasaan yang kebal dari kritik. Termasuk kekuasaan untuk menghapus proses hukum. Di sinilah pentingnya terus mengawal kebijakan abolisi agar tidak menjadi lubang hitam dalam sistem peradilan Indonesia.

Publik berhak tahu, publik berhak bertanya, dan publik berhak menolak jika abolisi digunakan untuk kepentingan yang merusak tatanan hukum dan demokrasi.


Referensi

  • Asshiddiqie, J. (2020). Hukum Tata Negara dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
  • Bivitri, S. (2022). Politik Hukum dan Reformasi Peradilan. Yogyakarta: Genta Publishing.
  • Fitriani, L. (2021). HAM dan Peradilan di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
  • Handayani, S. (2023). Hak Asasi dan Sistem Peradilan Pidana. Surabaya: Mandar Maju.
  • Hidayat, T. (2023). Sosiologi Hukum dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.
  • Komnas HAM. (2024). Laporan Tahunan: Tren Pelanggaran HAM di Indonesia. Jakarta: Komnas HAM.
  • Kusuma, R. (2023). Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Peradilan. Malang: Intrans Publishing.
  • Lestari, W. (2023). Konstitusi dan Sistem Politik Indonesia. Semarang: Pustaka Pelajar.
  • Lubis, T. M. (2018). Rekonsiliasi Nasional dan Dinamika Politik Hukum. Jakarta: Gramedia.
  • Prasetyo, A. (2020). Supremasi Hukum dan Tantangan Demokrasi. Jakarta: Kompas.
  • Rahardjo, S. (2020). Hukum Progresif: Kritik terhadap Hukum Positif. Yogyakarta: FH UII Press.
  • Rawls, J. (1999). A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press.
  • Salim, H. (2022). Demokrasi dan Kebijakan Hukum. Bandung: Nuansa Cendekia.
  • Setiawan, D. (2019). Good Governance dan Reformasi Birokrasi. Jakarta: Salemba Humanika.
  • Siregar, A. (2024). Reformasi Hukum Tata Negara. Medan: Pustaka Nusantara.
  • Sulaiman, B. (2021). Abolisi dan Politik Hukum di Era Reformasi. Makassar: Pena Pustaka.

Exit mobile version