Politik Angka 13

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam berbagai budaya dan kepercayaan di seluruh dunia, angka 13 dikenal sebagai simbol ketakutan, kesialan, atau tabu. Di hotel-hotel mewah, angka 13 sering dihilangkan dari penomoran kamar. Di gedung-gedung pencakar langit, lantai ke-13 kerap diganti dengan “12A” atau dilewati sama sekali. Namun, bagaimana jika angka ini masuk ke ranah politik? Apakah ia hanya sebatas mitos yang dibawa-bawa ke ruang kekuasaan, atau justru menjadi strategi simbolik yang digunakan untuk meraih legitimasi dan pengaruh?

Angka bukan sekadar alat hitung. Dalam dunia politik, angka sering kali dimaknai sebagai simbol, narasi, dan bahkan propaganda. Politik angka 13, dalam hal ini, bukan hanya membahas soal jumlah, tetapi juga persepsi dan manipulasi terhadap makna angka itu sendiri. Di berbagai belahan dunia, angka 13 memiliki kekuatan simbolik yang digunakan dalam penamaan partai, pemilihan waktu kampanye, hingga penetapan strategi.

Simbol, Bukan Sekadar Angka

Angka 13 telah lama diasosiasikan dengan ketidakwajaran atau pengkhianatan. Dalam tradisi Kristen, misalnya, 13 dianggap sial karena Yudas Iskariot adalah murid ke-13 yang menghadiri Perjamuan Terakhir (Truzzi, 2021). Dalam budaya Tionghoa, angka 13 lebih netral, bahkan terkadang dianggap positif tergantung konteks pelafalan (Zhou, 2022). Tetapi dalam politik, makna ini bergeser sesuai dengan kepentingan.

Di beberapa negara, angka 13 sengaja digunakan untuk menunjukkan keberanian melawan arus, mengesankan bahwa partai atau kandidat politik tidak tunduk pada mitos lama. Di sisi lain, ada pula yang menghindarinya karena takut diasosiasikan dengan kesialan publik. Pilihan untuk menghindari atau menggunakan angka 13 ini menunjukkan bahwa politik selalu bermain di wilayah antara rasionalitas dan irasionalitas.

Seperti dicatat oleh Edelman (2020), politik adalah dunia simbolik tempat makna diproduksi untuk membentuk persepsi. Dalam konteks ini, angka 13 dapat dijadikan simbol perlawanan, harapan baru, atau bahkan pembebasan dari status quo.

Mistisisme, Rakyat, dan Retorika Politik

Dalam politik populis, simbol dan angka sering kali dimobilisasi untuk membentuk narasi yang memikat rakyat. Populisme cenderung menggunakan simbol-simbol sederhana untuk menumbuhkan loyalitas dan membangun antagonisme antara “kami” dan “mereka” (Mudde & Rovira Kaltwasser, 2018). Jika angka 13 dipakai sebagai simbol politik, ia bisa dimaknai sebagai lambang keberpihakan pada yang tertindas, berbeda, dan tidak diakui.

Pemilihan angka tertentu dalam kampanye sering kali tidak hanya bergantung pada strategi elektoral, tetapi juga pada simbolisme budaya. Dalam konteks negara-negara Asia Tenggara, angka 13 jarang digunakan secara terang-terangan karena faktor budaya yang menganggapnya tabu. Namun, dalam situasi tertentu, penggunaannya justru bisa menjadi strategi politik tersendiri. Seperti yang ditunjukkan dalam studi Herdiansyah (2023), retorika yang bersifat antitesis terhadap budaya arus utama sering kali menjadi kekuatan bagi aktor-aktor politik alternatif.

Dengan demikian, angka 13 bisa diposisikan sebagai simbol oposisi atau antitesis terhadap kekuasaan mapan. Dalam kampanye politik, penggunaannya bisa dimaknai sebagai keberanian, sikap melawan kemapanan, bahkan sebagai penanda “pembawa perubahan”. Dalam lanskap politik modern, narasi semacam ini bisa menarik segmen pemilih yang kecewa pada elite politik lama.

Strategi Simbolik dalam Pemilu

Dalam pemilu demokratis, penggunaan angka memiliki makna strategis tersendiri. Nomor urut kandidat atau partai dalam surat suara dapat memengaruhi persepsi dan pilihan pemilih, terutama mereka yang tidak memiliki preferensi kuat (Blais & Loewen, 2022). Penelitian menunjukkan bahwa pemilih cenderung lebih memilih kandidat dengan nomor urut awal, namun angka ganjil seperti 13 juga bisa menarik perhatian karena berbeda dan mudah diingat.

Sejumlah partai politik di berbagai negara bahkan secara strategis memilih nomor urut 13 untuk menonjolkan citra “pemberani” atau “berani beda” (Kim & Lee, 2021). Dalam konteks ini, angka 13 bukan lagi sekadar angka sial, tetapi menjadi strategi branding politik.

Namun, hal ini tidak selalu berjalan mulus. Dalam riset psikopolitik, angka yang diasosiasikan dengan makna negatif dapat memperkuat stereotip, terutama jika tidak didukung oleh narasi yang kuat untuk membalikkan makna tersebut (Jost, 2020). Oleh karena itu, penggunaan angka 13 harus disertai dengan strategi komunikasi politik yang cermat.

Politik Persepsi dan Komodifikasi Angka

Angka 13 juga bisa dimasukkan dalam kategori politik persepsi, yaitu ketika persepsi publik lebih penting daripada kenyataan objektif (Lippmann, 2022). Dalam dunia digital saat ini, persepsi menjadi komoditas politik. Angka—seperti 13—yang tadinya hanya sebatas simbol numerik, kini bisa menjadi alat propaganda visual, meme, hingga hashtag kampanye.

Perubahan ini dipengaruhi oleh budaya digital yang semakin memendekkan pesan menjadi simbol-simbol instan. Dalam dunia TikTok, Instagram, dan X (Twitter), angka menjadi identitas digital yang bisa diviralkan. Ketika sebuah gerakan politik memilih angka 13 sebagai simbolnya, ia secara tidak langsung menyatakan sikap “anti-mainstream” dan “berani tampil beda”.

Angka, Magi, dan Otoritas

Menurut Benedict Anderson (2006), nasionalisme dan politik modern sangat bergantung pada “komunitas yang dibayangkan”, yakni realitas kolektif yang dibentuk oleh simbol dan mitos. Angka seperti 13 bisa menjadi bagian dari komunitas simbolik ini. Ia adalah angka yang secara magis diasosiasikan dengan kekuatan tak kasat mata, sekaligus dengan narasi keterbuangan dan perlawanan.

Hal ini mengingatkan pada bagaimana otoritas dibentuk melalui pengulangan simbol. Ketika angka 13 digunakan secara konsisten oleh suatu gerakan politik, ia bisa menjadi identitas kultural yang membentuk loyalitas. Namun, loyalitas semacam ini rawan dimanipulasi. Dalam konteks ini, angka menjadi alat hegemonik yang bisa membungkam nalar kritis.

Politik Angka dalam Budaya Pop dan Aktivisme

Angka 13 juga telah masuk ke dalam budaya populer. Dalam film, musik, hingga gim, angka ini kerap diasosiasikan dengan pemberontakan, misteri, atau kekuatan tersembunyi. Politik pun mengikuti pola ini. Aktivis jalanan menggunakan angka sebagai simbol protes. Dalam protes anti-kemapanan, simbol angka 13 bisa menjadi ikon untuk mengkritik dominasi oligarki dan korupsi struktural (Tucker, 2023).

Penggunaan angka dalam aktivisme bukanlah hal baru. Sejak era revolusi industri hingga demonstrasi digital masa kini, angka telah menjadi bagian dari strategi visual dan komunikasi. Hal ini memperkuat argumen bahwa angka dalam politik tidaklah netral, melainkan selalu dipenuhi makna dan tujuan.

Kesimpulan: Antara Rasional dan Irasional

Politik angka 13 bukanlah sekadar permainan numerik. Ia mencerminkan bagaimana dunia politik bekerja: antara rasionalitas statistik dan irasionalitas simbolik. Di satu sisi, angka adalah alat kalkulasi. Di sisi lain, ia adalah kendaraan makna yang membentuk narasi, emosi, dan persepsi.

Dalam dunia yang makin terhubung secara digital, angka seperti 13 bisa menjadi alat strategis untuk mempengaruhi opini publik. Tetapi penggunaan simbol semacam ini harus dibarengi dengan kesadaran kritis. Politik tidak hanya tentang bagaimana angka dimainkan, tetapi juga tentang bagaimana rakyat diajak berpikir, merasa, dan memilih berdasarkan simbol-simbol tersebut.

Jika angka 13 dulunya ditakuti, mungkin kini ia menjadi alat untuk menyuarakan harapan. Dalam politik, kesialan pun bisa dikomodifikasi menjadi keberanian.


Referensi

  • Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.
  • Blais, A., & Loewen, P. J. (2022). When Candidates Are Numbers: The Psychological Impact of Ballot Order. New York: Routledge.
  • Edelman, M. (2020). Constructing the Political Spectacle. Chicago: University of Chicago Press.
  • Herdiansyah, H. (2023). Retorika Politik Alternatif: Dari Pinggiran ke Pusat Kekuasaan. Jakarta: Obor.
  • Jost, J. T. (2020). A Theory of System Justification. New York: Harvard University Press.
  • Kim, H., & Lee, S. (2021). Political Branding through Numbers: A Study on Electoral Symbolism in East Asia. Journal of Political Marketing, 20(4), 412–432.
  • Lippmann, W. (2022). Public Opinion. New York: Free Press.
  • Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2018). Populism: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.
  • Truzzi, M. (2021). The Sociology of the Occult and the Supernatural. San Francisco: Harper & Row.
  • Tucker, J. A. (2023). Digital Activism and Symbolic Politics in the 21st Century. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Zhou, M. (2022). Cultural Numerology in Chinese Politics: From Tradition to Modernity. Asian Cultural Studies Review, 10(2), 145–159.
  • Miller, D. (2023). The Symbolic Uses of Numbers in Political Discourse. London: Palgrave Macmillan.
  • Han, B. C. (2022). The Disappearance of Rituals: A Topology of the Present. Cambridge: Polity Press.
  • Sartori, G. (2020). The Theory of Democracy Revisited. Washington, D.C.: CQ Press.
  • Elazar, D. J. (2023). The Politics of Symbolism in Democratic Systems. Boston: Beacon Press.